Senin, 07 Maret 2016

TEKNIK PENETASAN ARTEMIA




Artemia merupakan salah satu jenis zooplankton yang hidup diperairan asin yang dapat digunakan pada larva dan benih ikan air tawar, payau dan laut.

Dalam menetaskan cyst Artemia ada dua metoda yang dapat dilakukan yaitu metoda Dekapsulasi dan metoda tanpa Dekapsulasi. 

Metoda penetasan dengan dekapsulasi adalah suatu cara penetasan kista artemia dengan melakukan proses penghilangan lapisan luar kista dengan menggunakan larutan hipokhlorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup embrio. 

 Sedangkan metoda penetasan tanpa dekapsulasi adalah suatu cara penetasan artemia tanpa melakukan proses penghilangan lapisan luar kista tetapi secara langsung ditetaskan dalam wadah penetasan.



Prosedur yang harus dilakukan dalam menetaskan cyst artemia dengan metode Dekapsulasi adalah :

Ambil kista artemia sejumlah yang telah ditentukan dan harus diketahui bobotnya, kemudian kista tersebut dimasukkan kedalam wadah yang berbentuk kerucut dan dilakukan hidrasi selama 1 – 2 jam dengan menggunakan air tawar atau air laut dengan salinitas maksimum 35 permil serta diberi aerasi dari dasar wadah .

Dilakukan penghentian aerasi sebelum kista tersebut disaring dengan menggunakan saringan kasa yang berdiameter 120 mikron , kemudian kista tersebut dicuci dengan air bersih.

Larutan hipoklorit yaitu larutan yang mengandung HClO disiapkan yang akan digunakan untuk melakukan proses penghilangan lapisan luar kista. 

Larutan hipoklorit yang digunakan dapat diperoleh dari dua macam senyawa yang banyak dijual dipasaran yaitu Natrium hipoklorit (Na O Cl) dengan dosis 10 cc Na O Cl untuk satu gram kista dan Kalsium hipoklorit (Ca (Ocl)2 dengan dosis 0,67 gram untuk satu gram kista . 

Dari kedua senyawa larutan hipoklorit ini kalsium hipoklorit lebih mudah didapat dan harganya relatif lebih murah daripada natrium hipoklorit. 

Dalam dunia perdagangan dan bahasa sehari-hari kalsium hipoklorit dikenal sebagai kaporit (berupa bubuk), sedangkan natrium hipoklorit dijual berupa cairan dan dikenal sebagai klorin.

Kista yang telah disaring dengan saringan kasa dimasukkan kedalam media larutan hipoklorit dan diaduk secara manual serta diaerasi secara kuat-kuat, suhu dipertahankan dibawah 40 oC.

Proses penghilangan lapisan luar kista dilakukan selama 5 – 15 menit yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna kista dari coklat gelap menjadi abu-abu kemudian orange.

 Kista disaring dengan menggunakan saringan 120 mikron dan dilakukan pencucian kista dengan menggunakan air laut secara berulang-ulang sampai bau klorin itu hilang.

Kista artemia tersebut dicelupkan kedalam larutan HCl 0,1 N sebanyak dua kali dan dicuci dengan air bersih minimal 6 kali dan siap untuk ditetaskan dengan menggunakan larutan penetasanProses penetasan yang dilakukan sama dengan proses penetasan tanpa dekapsulasi.

Prosedur yang dilakukan dalam menetaskan cyst artemia dengan metoda tanpa dekapsulasi adalah :

Cyst/kista yang akan ditetaskan ditimbang sesuai dengan dosis yang digunakan misalnya 5 gram kista per liter air media penetasan.

Wadah dan media penetasan disiapkan sesuai persyaratan teknis.
Cyst/kista artemia dimasukkan kedalam media penetasan yangdiberi aerasi dengan kecepatan 10 – 20 liter udara/menit, suhu dipertahankan 25 – 30 oC dan pH sekitar 8 – 9.

Media penetasan diberi sinar yang berasal dari lampu TL dengan intensitas cahaya minimal 1.000 lux . Intensitas cahaya tersebut dapat diperoleh dari lampu TL /neon 60 watt sebanyak dua buah dengan jarak penyinaran dari lampu kewadah penetasan adalah 20 cm. Penetasan cyst artemia akan berlangsung selama 24–48 jam kemudian.

Pemilihan metoda penetasan cyst artemia sangat bergantung kepada jenis artemia yang digunakan dan spesifikasi dari jenis artemia tersebut. Artemia yang ditetaskan dari hasil dekapsulasi dapat langsung diberikan pada benih ikan atau ditetaskan terlebih dahulu baru diberikan kepada benih ikan.

Wadah penetasan cyst Artemia




Peralatan dan wadah yang dapat digunakan dalam mengkultur pakan alami Artemia ada beberapa macam. Jenis-jenis wadah yang dapat digunakan antara lain adalah kantong plastik berbentuk kerucut, botol aqua , ember plastik dan bentuk wadah lainnya yang didesain
berbentuk kerucut pada bagian bawahnya agar memudahkan pada waktu panen. 

Sedangkan peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan budidaya Artemia antara lain adalah aerator/blower, selang aerasi, batu aerasi, selang air, timbangan, saringan halus/seser, ember,gayung, gelas ukur kaca, refraktometer.

Pemilihan wadah yang akan digunakan dalam membudidayakan Artemia sangat bergantung kepada tujuannya. Wadah yang terbuat dari bak semen, bak beton, bak fiber dan tanki plastik biasanya digunakan untuk menetaskan cyst Artemia secara massal dan merupakan budidaya artemia secara selektif yaitu membudidayakan pakan alami ditempat terpisah dari ikan yang akan mengkonsumsi pakan alami. Sedangkan wadah budidaya kolam tanah yaitu tambak biasanya dilakukan untuk membudidayakan artemia. Oleh karena itu ukuran dari wadah yang akan digunakan sangat menentukan kapasitas produksi dari pakan alami Artemia.

Setelah berbagai macam peralatan dan wadah yang digunakan dalam membudidayakan pakan alami Artemia diidentifikasi dan dijelaskan fungsi dan cara kerjanya, langkah selanjutnya adalah melakukan persiapan terhadap wadah tersebut. Langkah pertama adalah peralatan dan wadah yang akan digunakan ditentukan sesuai dengan skala produksi dan kebutuhan. Peralatan dan wadah disiapkan untuk digunakan dalam budidaya Artemia. Wadah yang akan digunakan dibersihkan dengan menggunakan sikat dan diberikan desinfektan untuk menghindari terjadinya kontaminasi dengan mikroorganisme yang lain. Wadah yang telah dibersihkan selanjutnya dapat diari dengan air bersih.

Wadah budidaya yang telah diairi dapat digunakan untuk memelihara Artemia. Air yang dimasukkan kedalam wadah budidaya harus bebas dari kontaminan seperti pestisida, deterjen dan chlor. Air yang digunakan sebaiknya diberi oksigen dengan menggunakan aerator dan batu aerasi yang disambungkan dengan selang aerasi. Aerasi ini dapat digunakan pula untuk menetralkan chlor atau menghilangkan Carbondioksida didalam air.

Media penetasan cyst Artemia
Langkah kerja dalam menyiapkan wadah budidaya Artemia adalah sebagai berikut :
  • Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan dan sebutkan fungsi dan cara kerja peralatan tersebut!
  • Tentukan wadah yang akan digunakan untuk menetaskan Artemia !
  • Bersihkan wadah dengan menggunakan sikat dan disiram dengan air bersih, kemudian lakukan pensucihamaan wadah dengan menggunkan desinfektan sesuai dengan dosisnya.
  • Bilaslah wadah yang telah dibersihkan dengan menggunakan air bersih.
  • Pasanglah peralatan aerasi dengan merangkaikan antara aerator, selang aerasi dan batu aerasi, masukkan kedalam wadah budidaya. Ceklah keberfungsian peralatan tersebut dengan memasukkan kedalam arus listrik.Buatlah larutan garam untuk media penetasan cyst artemia dengan cara melarutkan garam dapur (NaCl) kedalam air tawar dengan dosis 35 gram perliter air tawar.
  • Ukurlah salinitas media penetasan dengan menggunakan alat refraktometer, catat. Jika salinitas media tidak sesuai dengan yang diinginkan tambahkan garam atau air tawar kedalam media sampai diperoleh salinitas media sesuai kebutuhan.
Inokulasi Artemia
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan sebelum melakukan inokulasi bibit pakan alami kedalam media kultur yaitu pertama melakukan identifikasi jenis bibit pakan alami Artemia, kedua melakukan seleksi terhadap bibit pakan alami Artemia, ketiga melakukan inokulasi bibit pakan alami sesuai dengan prosedur.

Morfologi Artemia dapat dilihat secara langsung dibawah mikroskop, ciri khas nya yang sangat mudah untuk dikenali setelah siste artemia menetas adalah berubah menjadi nauplius. Dalam perkembangannya mengalami 15 kali perubahan bentuk (metamorfosis) , setiap kali perubahan bentuk merupakan tahapan suatu tingkatan yaitu instar I – instar XV, setelah itu menjadi artemia dewasa.

Tubuh Artemia dewasa mempunyai ukuran 1 – 2 cm dengan sepasang kaki majemuk dan 11 pasang thoracopoda. Setiap thoracopoda mempunyai eksopodit, endopodit dan epipodite yang masing-masing berfungsi sebagai alat pengumpul pakan, alat berenang dan alat pernafasan.

Proses penetasan dengan menggunakan metoda dekapsulasi, cyst artemia pada tahap awal dilakukan perendaman dengan air tawar selama satu jam yang berfungsi untuk meningkatkan kadar air pada cyst artemia dan cyst artemia tersebut akan menggembung karena air masuk kedalam cyst, Cyst yang menggembung akan mulai terjadi proses metabolisme. Setelah satu jam direndam dan cyst sudah mengandung kadar air kurang lebih 65% maka cyst artemia tersebut disaring dengan menggunakan kain saringan 120 mikron serta dicuci dengan air tawar atau air laut sampai bersih. Kemudian dimasukkan kedalam larutan hipoklorit yang telah disiapkan lengkap dengan aerasinya. Proses dekapsulasi berlangsung selama 10-15 menit. Proses dekapsulasi ditandai dengan terjadinya perubahan warna siste dari coklat menjadi abu-abu dan akhirnya berwarna jingga serta air didalam wadah-mengandung-buih-atau-busa.
Setelah proses dekapsulasi selesai siste yang sudah tidak bercangkang diambil dengan alat penyedot dan disaring dengan menggunakan alat penyaring dari kasa kawat baja tahan karat (stainless steel) dengan ukuran mata 120-150 mikron. Proses pencucian dilakukan dengan menggunakan air tawar atau air laut sampai bau chlorine hilang. Siste yang sudah tidak bercangkang tersebut masih berupa siste yang telanjang belum menetas karena masih diselimuti oleh selaput embrio yang tipis. Oleh karena itu masih harus dilakukan penetasan dengan menggunakan-air-laut-yang-bersalinitas-5-35-permil.
Proses penetasan cyst artemia dengan metoda dekapsulasi selanjutnya adalah melarutkan siste tersebut dengan larutan garam bersalinitas antara 5 permil sampai dengan 35 permil. Waktu yang dibutuhkan sampai siste tersebut menetas menjadi nauplius dibutuhkan waktu sekitar 24 - 48 jam.

Proses penetasan cyst/siste artemia dengan metoda tanpa dekapsulasi dilakukan dengan cara siste yang akan ditetaskan ditimbang sesuai dengan dosis yang digunakan misalnya 5 gram siste per liter air media penetasan. Kemudian wadah dan media penetasan disiapkan sesuai persyaratan teknis yang telah ditentukan, siste artemia dimasukkan kedalam media penetasan yang diberi aerasi dengan kecepatan 10 – 20 liter udara/menit, suhu dipertahankan 25 – 30 oC dan pH sekitar 8 – 9. Media penetasan diberi sinar yang berasal dari lampu TL dengan intensitas cahaya minimal 1.000 lux. Intensitas cahaya tersebut dapat diperoleh dari lampu TL/neon 60 watt sebanyak dua buah dengan jarak penyinaran dari lampu kewadah penetasan adalah 20 cm. Penetasan cyst artemia akan berlangsung-selama-24-48-jam-kemudian.

Pakan alami artemia yang telah ditetaskankan di media penetasan bertujuan untuk diberikan kepada larva/benih yang dipelihara. Kebutuhan larva/benih ikan akan pakan alami Artemia selama pemeliharaan adalah setiap hari. Oleh karena itu waktu pemanenan pakan alami itu sangat bergantung kepada kebutuhan larva/benih akan pakan alami Artemia. Pemanenan pakan alami Artemia ini dapat dilakukan setiap hari atau seminggu sekali atau dua minggu sekali. Hal tersebut bergantung kepada kebutuhan suatu usaha terhadap ketersediaan pakan alami Artemia.

Pemanenan pakan alami Artemia yang dilakukan setiap hari biasanya jumlah yang dipanen adalah kurang dari 20%. Pemanenan Artemia dapat juga dilakukan seminggu sekali atau dua minggu sekali sangat bergantung kepada ukuran Artemia yang akan diberikan kepada larva/benih ikan. Cyst artemia yang baru menetas mempunyai ukuran antara 200-350 mikrometer (0,2-0,35 mm) dan disebut nauplius. 

Duapuluh empat jam setelah menetas nauplius artemia ini akan mulai tumbuh organ pencernaannya, oleh karena itu pada masa tersebut artemia sudah mulai makan dengan adanya makanan didalam media penetasan artemia akan tumbuh dan berkembang. 

Artemia menjadi dewasa pada umur empatbelas hari dan akan beranak setiap empat sampai lima hari sekali. Jadi waktu panen artemia sangat ditentukan oleh ukuran besar mulut larva yang akan mengkonsumsinya dengan ukuran artemia yang akan ditetaskan. 

Jika didalam media penetasan tidak terdapat sumber makanan bagi artemia maka artemia tidak akan tumbuh dan berkembang melainkan akan mati secara perlahan-lahan karena kekurangan energi. Pada beberapa usaha pembenihan biasanya hanya dilakukan penetasan cyst artemia tanpa melakukan pemeliharaan terhadap-cyst-yang-telah-ditetaskan.

Pemanenan



Setelah cyst artemia menetas 24-48 jam setelah ditetaskan maka akan dilakukan pemanenan cyst artemia dengan cara sebagai berikut :
  • Lepaskan aerasi yang ada didalam wadah penetasan.
  • Lakukan penutupan wadah penetasan pada bagian atas dengan menggunakan plastik hitam agar artemia yang menetas akan berkumpul pada bagian bawah wadah penetasan. Artemia mempunyai sifat fototaksis positif yang akan bergerak menuju sumber cahaya.
  • Diamkan beberapa lama (kurang lebih 15-30 menit) sampai seluruh cyst yang telah menetas berkumpul didasar wadah.
  • Lakukan penyedotan dengan selang untuk mengambil artemia yang telah menetas dan ditampung dengan kain saringan yang diletakkan didalam wadah penampungan.
  • Bersihkan artemia yang telah dipanen dengan menggunakan air tawar yang bersih dan siap untuk diberikan kepada larva/benih ikan konsumsi/ikan hias.
Sumber :
http://sidatmasapi.blogspot.co.id/
TEKNIK BUDIDAYA IKAN SEPAT SIAM


Biologi Ikian Sepat Siam
       Sepat Rawa Sepat rawa adalah sejenis ikan air tawar. Di Jawa Barat dan seputaran Jakarta ikan ini disebut sepat siam, sedangkan di Jawa Timur ia juga dikenal dengan nama sliper. Dalam bahasa Inggris disebut snake-skin gouramy, merujuk pada pola warna belang-belang di sisi tubuhnya. Nama ilmiahnya adalah Trichogaster trichopterus Pall (Saanin, 1968). Kingdom : Animalia Phyllum : Chordata Classis : Pisces Familia : Anabantidae Ordo : Labyrinthici Genus : Trichogaster Spesies : Trichogaster trichopterus Pall Visualisasi jenis ikan rawa dan salah satu bentuk perairan rawa di Kalimantan Selatan. 
         Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus Pall) dan Perairan Rawa Sepat rawa adalah ikan yang hidup di air tawar pada suhu 20 – 28o C. Di Jawa Barat dan seputaran Jakarta ikan ini disebut sepat siam, di Sumatera Selatan dinamakan sepat merah mato atau bisa juga disebut three spot gouramy karena pada tubuhnya terdapat dua bintik hitam dan satu mata yang menjadi 3 bintik hitam, sedangkan di Jawa Timur ia juga dikenal dengan nama sliper. Dalam bahasa Inggris ikan sepat rawa disebut snake-skin gouramy, merujuk pada pola warna belang-belang di sisi tubuhnya (Anonim, 2008). Ikan sepat rawa merupakan kelompok ikan yang mempunyai pernafasan tambahan berupa tulang tipis yang berlekuk-lekuk seperti buangan karang yang disebut labirin dengan menggunakan dan mengambil oksigen langsung dari udara. Sebagian dapat membangun karang berbusa yang berguna untuk menyimpan telurnya di dalam mulut. Warna tubuh ikan ini dipengaruhi oleh jenis kelamin reproduksi dan umurnya. Sirip punggung lebih kecil dari pada sirip dubur, mempunyai 6-8 jari-jari keras dan 8-10 jari-jari lunak. Sirip duburnya mempunyai 10-12 jari-jari keras 33-38 jari-jari lunak. Sirip perut memiliki 1 jari-jari keras dan 3-4 jari-jari lunak, satu diantaranya menjadi alat peraba yang panjang seperti ijuk. Sirip dada mempunyai 9-10 jari-jari lunak. Terkadang pada bagian sirip punggung dan sirip ekor yang lunak ada bulatan hitam. (Djuhanda, 1981). Ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus Pall) memiliki ciri-ciri bentuk tubuhnya seperti ikan sepat siam yaitu tubuhnya pipih, kepalanya mirip dengan ikan gurami muda yaitu lancip. Panjang tubuhnya tidak dapat lebih besar dari 15 cm, permulaan sirip punggung terdapat di atas bagian yang lemah dari sirip dubur. Pada tubuhnya ada dua bulatan hitam, satu di tengah-tengah dan satu di pangkal sirip ekor. Sirip ekor terbagi ke dalam dua lekukan yang dangkal, memiliki permulaan sirip punggung atas yang lemah dari sirip duburnya. A. XI – X (XII). 33-38. bagian kepala dibelakang mata dua kali lebih dari permulaan sirip punggung di atas bagian berjari-jari keras dari sirip dubur (Saanin, 1968). Ikan ini memiliki warna yang menarik dengan berbagai variasi, sehingga sering dijadikan ikan hias. Ada 2 jenis yang berwarna menarik, yaitu blue gouramy (warnanya biru) dan gold gouramy (warnanya keemas-an) (Anonim, 2008). Blue gouramy dapat mencapai ukuran 200-350 gram dengan panjang 12,7 cm. Ikan sepat yang jantan tubuhnya lebih pipih, sedangkan yang betina lebih gemuk terutama pada ikan betina yang sedang matang kelamin. Pemijahan blue gouramy umumnya berlangsung pada saat suhu air 26,5 °C (80 °F). Telur yang sudah dibuahi diletakkan di dalam sarang yang mereka buat dari buih (Anonim, 2008). 2.2. Kebiasaan Hidup dan Penyebaran Sifat makanan ikan sepat adalah omnivora, di perairan umum mereka lebih banyak memakan fitoplankton. Sebagian besar makanan sepat rawa adalah tumbuh-tumbuhan air dan lumut. Namun ikan ini juga memangsa hewan-hewan kecil di air, termasuk ikan-ikan kecil yang dapat termuat di mulutnya. Ikan sepat rawa menyimpan telur-telurnya dalam sebuah sarang busa yang dijagai oleh si jantan. Setelah menetas, anakanak sepat diasuh oleh induk jantan, hingga dapat mencari makanan sendiri. Sedangkan ikan yang dipelihara di dalam akuarium diberi pakan tubifex, kutu air, larva nyamuk, dan pakan kering (Anonim, 2008). Sepat rawa diketahui dapat bernafas langsung dari udara, selain menggunakan insangnya untuk menyerap oksigen dari air. Akan tetapi, tak seperti ikan-ikan yang mempunyai kemampuan serupa (misalnya ikan gabus, betok atau lele), ikan sepat tak mampu bertahan lama di luar air. Ikan ini justru dikenal sebagai ikan yang mudah mati jika ditangkap (Anonim, 2008). Ikan sepat rawa menyukai rawa-rawa, danau, sungai dan parit-parit yang berair tenang; terutama yang banyak ditumbuhi tumbuhan air. Juga kerap terbawa oleh banjir dan masuk ke kolam-kolam serta saluransaluran air hingga ke sawah. Ikan ini sering ditemui di tempat-tempat yang terlindung oleh vegetasi atau sampah-sampah yang menyangkut di tepi air (Anonim, 2008). Penyebaran asli ikan ini adalah dari Asia Tenggara, terutama dari lembah Sungai Mekong di Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam; juga dari lembah Chao Phraya. Di Indonesia ikan ini merupakan hewan introduksi yang telah meliar dan berbiak di alam, termasuk di Jawa (Anonim, 2008).
Cara Budidaya Ikan Sepat Siam  – Budidaya ikan sepat rawa atau siam adalah salah satu usaha yang menjanjikan bahkan juga menguntungkan, banyak sekali para perikanan membudidayakan ikan sepat ini dengan baik dan benar namun ada juga yang tidak mengetahui sama sekali.
1
Namun, bagi pemula yang ingin membudidayakan dalam skala besar atau kecil harus memperhatikan panduan beternak atau budidaya ikan ini dengan baik dalam lokasi, pengelolahan kolam, pembesaran, pemeliharaan dan pengendalihan hama dan penyakit. Hal ini merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam budidaya ikan sepat siam atau rawa. Jika anda masih pemula atau senior yang sudah mengetahui cara budidaya dan ingin memaksimalkan hasil budidaya ikan sepatnya perhatikan langkah – langkah berikut cara budidaya ikan sepat dengan mudah dan sederhana.

Pemilihan lokasi

Pemilihan lokasi ini sangat penting dilakukan untuk menentukan hasil yang maksimal, diantara yaitu :
  • Jauh dari pemukiman warna, atau keributan
  • Jauh dari rawan banjir di sekitar area
  • Suhu lingkungan normal
  • Terkena cahaya matahari cukup

Pemilihan Indukan ikan sepat

Pemilihan indukan ikan sepat jantan dan betina ini harus dilakukan dengan cara pengamatan secara detainya yaitu :
  • Berasal dari indukan berkualitas
  • Sudah mampu memproduksi sel telur dan spermatozoa
  • Memiliki gerakan lebih lincah
  • Tidak abnormal ( pada bagian apapun )
  • Pertumbuhan relatif jauh lebih cepat

Pengelolahan media kolam

Pengelolahan media kolam ini sangat banyak sekali di gunakan mulai dari kolam beton, terpal dan media tanah lainnya. Namun, untuk lebih memudahkan peternak sebaiknya menggunakan media terpal yaitu dapat dilakukan dengan cara :
  1. Melakukan pencangkulan media tanah dengan kedalam mencapai 1-2 meter bahkan lebih dengan lebar 3-5 meter dan panjang mencapai  8-10 meter.
  2. Kemudian, siapkan media terpal dengan ukuran yang sesuai untuk lebih mempermudahkan dalam pembudidayakan ikan sepat.
  3. Lalu, sebelum memasukan bibit ikan sepat sebaiknya bersihkan terlebih dahulu terpal dengan menggunakan larutan air garam atau insektisida untuk menghindari ancaman berbagai macam penyakit datang sekitar 2-3 hari.
  4. Setelah itu, masukan media air dengan ketinggian mencapai permukaan sekitar 30-40 cm dan jangan sampai kepenuhan.
  5. Lalu masukan bibit ikan sepat yang sudah disediakan dan sudah dilakukan seleksi sekitar 50 ekor – 100 ekor ikan sepat perkolamnya.

 Pemeliharaan ikan sepat
Pemeliharaan ikan sepat ini dapat dilakukan dengan cara melakukan sanitasi dengan baik, memberikan pakan ikan sepat dengan teratur sekitar 2 kali dalam sehari, mengatikan air dengan baik pada waktu yang berskala sekitar 2-3 minggu, dan melakukan pengendalian hama dan penyakit dengan baik.

Pemanenan ikan sepat


Pemanenan ikan sepat ini pada umumnya dilakukan sekitar 3-4 bulan tergantung dengan jenis dan varietesnya. Pemanenan ini dapat dilakukan dengan baik pada sore dan pagi hari, yang dilakukan dengan cara menguras air atau menjaring ikan secara bertahap dengan hati – hati tanpa merusak kualitas pada ikan sepat.
Sumber :   
1. http://eprints.unlam.ac.id/
2. http://fredikurniawan.com/
TEKNIK BUDIDAYA BELUT


<b>Budidaya Belut</b>

Budidaya Belut merupakan salah satu cabang usaha perikanan darat yang memiliki potensi bisnis sangat tinggi sehingga kegiatan tersebut memegang peranan penting dalam kegiatan ekonomi di sektor perikanan. Produktivitas kegiatan budidaya di sektor perikanan masih memungkinkan untuk dikembangkan, salah satunya adalah memperbaiki dan meningkatkan teknologi budidaya serta melakukan inovasi dalam kombinasi faktor-faktor produksi. Berternak belut merupakan kegiatan agribisnis perikanan yang perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat potensi bisnisnya begitu besar bahkan teknologi budidaya yang diterapkan pun relatif lebih mudah diaplikasikan oleh petani atau peternak belut. Salah satu kelemahan dari usaha budidaya ini adalah minimnya pasokan benih belut, sehingga petani banyak yang kesulitan untuk mendapatkan benih.

PELUANG USAHA BUDIDAYA BELUT SAWAH

Kegiatan budidaya untuk jenis ikan belut memang belum banyak dilakukan secara kultur di kolam-kolam atau tempat-tempat pemeliharaan lain, karena dianggap kurang diminati konsumen. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kini banyak diproduksi makanan olahan berbahan dasar belut, baik dalam bentuk basah maupun kering. Hal ini menyebabkan peningkatan permintaan masyarakat terhadap komoditas perikanan. Meningkatkan permintaan terhadap komoditas belut secara otomatis akan menciptakan peluang agribisnis tersendiri. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kini berternak belut mulai banyak dilirik oleh pelaku agribisnis. Mereka berusaha membidik peluang pasar budidaya ini meskipun di daerah-daerah tertentu pengadaan benih belut sangat sulit untuk didapatkan. Pada artikel pendek ini, hanya akan dibahas mengenai cara budidaya untuk konsumsi, dengan masa budidaya selama 2-3 bulan.

CARA BUDIDAYA


Meskipun mudah dilakukan, tetapi teknik atau cara budidaya belum banyak diketahui oleh peternak belut. Hal ini disebabkan secara kultur teknis ternak belut memang masih belum banyak dilakukan. Untuk mendapatkan informasi mengenai teknik budidaya yang baik dapat Anda simak pada ulasan-ulasan di bawah ini, namun sebelum melangkah lebih lanjut, tidak ada salahnya kalau kita mengenal belut lebih dalam lagi untuk sedikitnya membantu memudahkan proses budidaya disamping juga menambah wawasan kita sebagai seorang petani belut.

Deskripsi Belut Sawah

PELATIHAN WIRAUSAHA <b>BUDIDAYA BELUT</b> | PKBM BAITUL ILMI

Di Indonesia dikenal ada tiga jenis ikan yang disebut belut. Ketiga jenis ikan tersebut adalah Monopterus albus Zuiew, Synbranchus bengalensis Mc. Clellland, serta Macrotema caligans Cantor.Monopterus albus Zuiew di Indonesia dikenal dengan sebutan welut, lindung. Sementara itu, Synbranchus bengalensis Mc. Clellland, dikenal dengan sebutan kirai. Sedangkan Macrotema caligansCantor dikenal dengan istilah belut.
Ketiga jenis ikan di atas termasuk dalam Family Synbranchidae serta Ordo Synbranchoidea. Dari ketiga jenis belut tersebut,Monopterus albus termasuk dalam jenis belut sawah yang sering dijumpai di lahan-lahan persawahan.
Tubuh belut sawah licin berbentuk bulat panjang seperti ular, tetapi tidak memiliki sisik. Belut sawah memiliki sirip punggung serta sirip dubur. Sirip-sirip tersebut berbentuk lipatan-lipatan kulit tanpa jari sirip.
Belut sawah tergolong binatang hermaprodit protogyni. Daur hidupnya dimulai dari masa juvenil (hermaprodit), berkembang menjadi belut betina, selanjutnya masuk dalam masa inter-sex, kemudian berkembang lagi menjadi belut jantan. Namun, hingga saat ini belum ada kepastian kapan belut sawah mengalami perubahan kelamin tersebut. Berbagai penelitian telah dilakukan, tetapi hasilnya masih sangat bervariasi. Beberapa ahli telah melakukan penelitian terhadap perubahan jenis kelamin maupun ukuran tubuhnya.
Berdasarkan hasil penelitian, dilakukan oleh Ir. Djatmika D.H. di daerah Magelang, Jawa Tengah dan Bantul, Yogyakarta, pada tahun 1982, diperoleh hasil mengenai ukuran serta jenis kelamin belut sawah sebagai berikut:

Benih, merupakan belut berukuran 2-2.7 cm, berwarna putih dengan sedikit warna merah muda. Di dekat kepala, terdapat bagian berwarna hijau, bagian ini merupakan kantong kuning telur cadangan makanannya.
Belut betina memiliki panjang tubuh sekitar 20-28 cm , warna punggungnya hijau kecoklatan atau kehitaman, warna perut putih kekuning-kuningan, sedangkan ukuran kepala maupun tengkuknya relatif kecil. Ekor berbentuk memanjang serta bagian ujungnya lancip.
Fase Intersex terjadi pada belut yang memiliki panjang tubuh antara 29-35 cm, warna tubuh bagian atas atau punggungnya coklat kehitaman, sedangkan warna bagian perut kuning kecoklatan, ukuran kepala maupun tengkuk relatif lebih besar bila dibanding belut betina, ekor agak panjang serta bagian ujungnya agak tumpul.
Belut jantan memiliki panjang tubuh antara 36-48 cm, bahkan di lapangan seringkali ditemui belut jantan berukuran lebih panjang daripada ukuran tersebut. Bagian tubuh atas atau punggung berwarna coklat kehijauan, sementara bagian perut berwarna kuning kecoklatan. Ukuran kepala maupun tengkungnya relatif besar, ekornya pendek, serta bagian ujungnya tumpul.

Sistematika

Kingdom : Animalia
Sub-kingdom : Metazoa
Phyllum : Chordata
Sub-phyllum : Vertebrata (Craniata)
Class : Pisces
Sub-class : Teleostei
Ordo : Synbranchoidea
Familia : Synbranchidae
Genus : Monopterus
Species : Monopterus albus

Lingkungan Hidup

Belut sawah hidup di daerah persawahan maupun parit-parit di sawah. Mereka hidup di daerah lumpur atau tanah becek sampai kedalaman berkisar 10 cm. Biasanya banyak ditemukan di daerah-daerah pertanaman padi, terutama pada saat masa-masa awal penanaman. Hal ini disebabkan pada masa-masa tersebut, sawah masih digenangi air sehingga masih berlumpur. Sarangnya dibuat dengan cara menggali lubang seperti terowongan berliku, dalam hal ini pola sarang menyerupai huruf U. Binatang ini menyukai media dingin sebagai tempat tinggalnya. Suhu optimal saat budidaya berkisar antara 21 – 27 derajat celsius. Apabila mengalami kenaikan temperatur air, maka belut sawah akan meninggalkan tempat tersebut. Belut sawah mampu hidup di perairan dengan kandungan oksigen terlarut rendah, dimana pada kondisi tersebut, ikan-ikan air tawar lainnya sudah tidak lagi mampu mempertahankan hidupnya. Hal tersebut dikarenakan selain bernapas menggunakan insang juga memiliki alat pernapasan tambahan berupa lipatan-lipatan kulit tipis (lipatan kulit tipis ini terdapat di rongga mulutnya). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Monopterus albus memiliki daya hidup cukup baik. Inilah salah satu kelebihannya sebagai salah satu komoditas perikanan masa depan. Tingginya daya hidup tersebut membuat potensi agribisnis budidaya ikan jenis ini semakin terbuka lebar, sehingga keberhasilan usaha budidaya lebih terjamin. 

Kandungan Gizi

Belut selain rasanya enak serta banyak mengandung vitamin, juga mengandung kalori tinggi. Kandungan zat gizi setiap 100 gram berat ikan mengandung kalori 303 gram, protein 14 gram, lemak 27 gram, kalsium 0,02 gram, besi 0,001 gram, vitamin A 1,6 gram, vitamin B1 0,0001 gram, vitamin C 0,002 gram serta mengandung air 58 gram. 

Teknik Budidaya

Secara teknis, kegiatan budidaya ini tidak diperlukan persyaratan khusus seperti budidaya ikan lainnya. Pelaksanaan kegiatan budidaya juga dapat dilakukan pada kolam kecil maupun besar. Bagian dasar kolam maupun dinding kolam belut sebaiknya dibuat permanen.

Bak

Bak untuk budidaya berukuran panjang 3 meter, lebar 1 meter, kedalaman 1,2 meter dimana sedalam 0,7 m berada dalam tanah (dengan cara digali), tujuannya agar media bak selalu dalam keadaan dingin sehingga suhu dalam media sesuai kondisi lingkungan hidup ideal untuk berternak belut. Pembuatan bak sebaiknya tidak terlalu besar agar proses pemeliharaan dalam kegiatan budidaya tersebut tidak mengalami hambatan serius.

<b>Budidaya Belut</b> Dalam Tong/Drum

Komposisi Media

Komposisi dan cara pembuatan media budidaya disusun dari bawah ke atas meliputi lumpur sawah, jerami, pupuk kandangfermentasi, pelepah pisang, dedak halus, lumpur sawah. Susun media tersebut hingga ketebalan 40 cm. Setelah tersusun media digenangi air hingga ketinggian 60 cm dari dasar kolam, selama kurang lebih 1 bulan. Tujuannya agar proses pelapukan berjalan sempurna sehingga tidak menimbulkan gas beracun setelah benih belut dimasukkan. Sesekali dilakukan penggantian air agar media memperoleh oksigen terlarut cukup sehingga bakteri dekomposerdapat melakukan aktivitas perombakan secara optimal. Disamping itu penggantian air juga bertujuan untuk menghilangkan buih-buih hasil pelapukan. Untuk mengontrol apakah proses pelapukan sudah sempurna atau belum dapat dilakukan dengan memasukkan jentik-jentik nyamuk dalam media. Apabila jentik-jetik nyamuk tersebut mati, berarti proses pelapukan belum sempurna.
Setelah bak beserta media budidaya selesai dipersiapkan serta dinyatakan proses pelapukan sudah sempurna, maka penebaran benih belut dapat dilakukan.

A. Teknik Pemijahan

a. Pemilihan Induk

Induk belut yang akan dipijahkan di dalam kolam sebaiknya telah memenuhi syarat ukuran badan. Induk betina memiliki panjang di bawah 30 cm, sedangkan induk jantan sekitar 40 cm. Pada ukuran tersebut biasanya induk belut sudah siap kawin. Komposisi induk di dalam kolam adalah 1 induk jantan dan 2 induk betina untuk tiap 1 m² kolam.

b. Pemantauan Pemijahan

Untuk mengetahui kapan induk belut bertelur, kolam pemijahan harus diperiksa. Jika di permukaan kolam sudah terdapat gelembung-gelembung busa, berarti pemijahan akan segera dimulai. Agar memudahkan penangkapan benih belut nantinya, bagian berbusa diberi tanda dengan cara menancapkan bambu atau kayu kecil. Busa ini akan menghilang setelah 10 hari, artinya ikan telah selesai kawin. Telur-telur hasil pemijahan tersebut akan menetas dalam waktu 10 hari kemudian.
Selanjutnya, benih belut berumur 5 hari sebaiknya segera diambil untuk dipisahkan dari induknya. Pengangkatan benih belut dilakukan secara hati-hati menggunakan serokan berbahan halus agar meminimalir resiko terjadinya luka di tubuh. Setelah benih belut diangkat, induk pun diangkat untuk diistirahatkan dalam kolam penampungan induk. Di kolam penampungan, induk belut diberi makan cincangan daging bekicot, keong emas, gedebog pisang, ikan, anak kodok, belatung, atau cacing tanah agar tetap terpelihara serta sehat. Jumlah pakan ikan yang diberikan per hari sebanyak 5% dari berat tubuh.
Kolam pemijahan disiapkan lagi untuk pemijahan berikutnya. Caranya dengan menaburkan pupuk kandang berupa kotoran sapi atau ayam, ketebalan tebaran pupuk kandar sekitar 10 cm. Pemupukan ini bisa ditambahkan dedak halus atau serpihan jerami. Induk belut betina pada periode pemijahan sebelumnya dapat dipakai sebagai induk jantan, sementara induk jantan tidak perlu dipakai lagi sebab sudah tidak potensial. Induk belut ini sebaiknya dijual atau dikonsumsi saja.

B. Pemilihan Benih Belut

<b>Budidaya Belut</b> Dalam Tong/Drum

Kualitas benih belut memegang peran penting dalam menunjang keberhasilan usaha budidaya. Untuk itu, sebaiknya hanya benih belut berkualitas yang dipilih untuk didederkan. Benih berkualitas memiliki syarat-syarat sebagai berikut.
  1. Anggota tubuhnya masih utuh, mulus atau tidak ada bekas luka gigitan.
  2. Gerakan tubuhnya lincah dan agresif.
  3. Penampilannya sehat, dicirikan tubuh ikan keras, tidak lemas jika dipegang.
  4. Tubuhnya berukuran kecil, berwarna kuning kecoklat-coklatan.
  5. Usianya 2-4 bulan.

Budidaya Tahap I

Pada budidaya tahap I, benih belut yang ditebar berukuran 5 – 8 cm, padat penebaran ikan 150 ekor/m2. Setelah dua bulan dipelihara benih belut sudah berukuran 15 cm. Belut siap dikonsumsi sebagai belut kering (goreng tepung) atau dipelihara pada budidaya tahap II. Belut ukuran ini sangat sulit ditangkap karena sudah bisa membenamkan diri dalam lumpur. Cara penangkapan salah sayunya dengan cara memasang perangkap (bubu) yang dipasang berderet sebelum pengeringan.

Budidaya Tahap II

Pada budidaya tahap II, benih belut yang ditebar adalah hasil dari budidaya tahap I, yaitu belut ukuran 15 cm, padat penebaran ikan 25 ekor/m2. Untuk membantu pertumbuhan, perlu diberikan pakan tambahan berupa cacing tanah, bekicot, atau sisa-sisa dapur. Setelah dua bulan, belut sudah berukuran 25–20 cm. Belut ukuran ini siap untuk dikonsumsi, selain itu juga paling banyak dicari konsumen.

Pakan Ikan Tambahan

Budidaya untuk jangka waktu kurang dari 4 bulan tidak memerlukan pakan ikan tambahan karena sudah cukup memperoleh makanan dari media yang dibuat. Tetapi untuk menjunjang pertumbuhan belut, pemberian pakan tambahan seperti di atas bisa dilakukan. Pemberian pakan belut jangan berlebihan. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai jenis, kuantitas, serta kualitas pakan belut sawah. 

PANEN

Panen belut sawah dilakukan dengan cara mengambil serta memindahkan lumpur yang dijadikan sebagai media budidaya. Pengambilan lumpur biasanya membutuhkan alat bantu berupa papan. Pindahkan lumpur atau media budidaya ke bak lain sedikit demi sedikit. Dengan pengambilan atau pemindahan lumpur tersebut, maka belut akan merasa terancam terganggu, secara naluriah ia akan menyingkir ke tempat lain yang lebih aman. Setelah lumpur habis maka belut sawah tinggal diambil untuk dipindahkan ke wadah penampungan.

Sumber :  
http://www.tanijogonegoro.com