1.
Ciri-ciri ikan segar
Kesegaran
ikan dapat diketahui dengan cara mengamati penampilan fisik, mata, insang,
tekstur, dan baunya. Ketika masih segar, ikan tampak cemerlang, mengilap
keperakan sesuai jenis. Lendir di permukaan tubuh tidak ada sampai tipis,
bening, dan encer. Sisik tertanam kuat dan tidak mudah lepas, perut utuh, dan
lubang anus tertutup. Matanya cembung, cerah, putih jernih, pupil hitam, tidak
berdarah. Insangnya merah cerah tidak berlendir atau sedikit berlendir. Tekstur
dagingnya pejal, lentur, dan jika ditekan cepat pulih. Baunya segar atau agak
amis.
Akan tetapi,
begitu ikan mati mulai terjadi proses perusakan ikan. Yang pertama terjadi
adalah autolisis yang disebabkan oleh aktivitas enzim-enzim yang ada pada ikan.
Enzim-enzim ini bekerja tidak terkendali sehingga terjadi perombakan dalam
tubuh ikan, terutama proteinnya. Mutu ikan pun mulai turun. Penampilan ikan
menjadi lebih suram, tidak cemerlang, sisik mudah lepas, mata kemerahan,
cokelat atau buram. Dari proses ini dihasilkan senyawa-senyawa sederhana yang
disukai bakteri.
2.
Proses perusakan pada ikan
Proses
perusakan akibat aksi enzim ini berlangsung terus sampai bakteri tumbuh dan
mengambil alih proses kerusakan. Insang pun menjadi kecokelatan atau kepucatan,
berlendir tebal. Daging lembek mudah terurai, jika ditekan sulit pulih kembali
bekasnya. Bau makin amis lalu menjadi tidak sedap dan busuk, terutama pada
insang dan perut. Ikan pun akhirnya busuk.
Berbeda
dengan daging yang masih bagus meskipun sudah 7 - 12 jam setelah hewan
dipotong, proses perusakan pada ikan berlangsung jauh lebih cepat. Oleh karena
itu, proses penurunan mutu kesegaran ikan ini harus dihambat. Penghambatan ini
harus dilakukan sejak awal, yaitu sejak ikan ditangkap, didaratkan, selama
transportasi hingga pengolahan. Pengesan merupakan cara paling sederhana untuk
menghambat penurunan mutu ikan tanpa banyak menyebabkan perubahan sehingga
sifat ikan segar masih ada.
Begitu
sampai di tempat pengolahan, ikan harus segera ditangani dengan baik. Ikan
disortasi menurut jenis, mutu, dan ukurannya. Ikan yang pecah perut, pecah,
atau patah (rusak fisik) dipisahkan. Sambil disortasi, ikan
disiangi dengan cara dipotong kepala dan dibuang isi perutnya.
3.
Penyimpanan ikan segar
Jika Karena
sesuatu hal proses pengolahan bakso belum dapat dilakukan, atau ikan digunakan
sebagai cadangan, maka ikan terpaksa disimpan dulu sampai tiba saatnya diolah.
Untuk penyimpanan jangka panjang, mungkin pembekuan lebih cocok, tetapi untuk
penyimpanan jangka pendek cukup dengan dies di dalam peti insulasi. Ikan
disortasi, disiangi, dan dicuci bersih kemudian disusun berlapis-lapis
berselang-seling antara ikan dan es.
Ke dalam
peti insulasi dihamparkan hancuran es 5 - 10 cm lalu ikan disusun berlapis-lapis
berselang-seling dengan hancuran es sampai peti insulasi penuh. Di bagian
paling atas ditimbun hancuran es agak lebih tebal dan peti ditutup.
Perbandingan esrikan sebanyak 1:1 hingga 1:3. Dengan cara seperti ini suhu ikan
dapat dipertahankan rendah (sekitar 0°C) dan kesegaran ikan dapat dipertahankan
hingga beberapa hari.
Jika akan
digunakan, peti insulasi dibongkar dan ikan dikeluarkan hati-hati. Ikan yang
baru dikeluarkan dari peti dibersihkan, dagingnya diarnbil dengan cara difilet.
Untuk
membuat bakso dari daging ikan hiu atau ikan pari diperlukan perlakuan khusus
untuk mengurangi bau pesingnya. Di Indonesia, kedua jenis ikan ini biasa diasin
atau diasap secara tradisional dalam jumlah dan pada lingkungan yang terbatas.
Sudah terbukti pula bahwa daging kedua jenis ikan ini dapat diolah menjadi
bakso yang lezat. Sebagai bahan pembuat bakso, penggunaan daging ikan hiu
atau ikan pari dapat dicampurkan dengan daging ikan lain (kakap, tenggiri, tawes,
atau daging lain) atau tanpa campuran. Dengan penanganan yang baik, rasa maupun
bau pesing pada bakso hiu atau bakso pari tidak terasa lagi.
1.
Penyebab bau pesing
Rasa dan bau
pesing yang menjadi ciri daging ikan hiu dan pari disebabkan oleh tingginya kandungan
senyawa urea di dalam darah. Sebenarnya, adanya urea dalam darah ikan laut
bukan hal yang aneh karena semua ikan laut memproduksi urea di dalam darah dan
cairan tubuh. Bedanya, ikan laut mampu mengeluarkan urea dari dalam tubuh,
tetapi ikan hiu dan pari tidak memiliki kemampuan tersebut. Akibatnya, urea
terpaksa ditimbun di dalam darah. Begitu ikan mati, urea dalam darah diubah
oleh bakteri menjadi amoniak. Amoniak inilah yang berbau pesing dan bahkan
berbahaya bagi kesehatan.
Kandungan
urea pada setiap jenis hiu atau pari tidak sama sehingga bau dan rasa pesingnya
pun tidak sama. Ada yang sangat pesing dan ada yang kurang pesing. Hiu macan
(Galeocerdo cuvier) misalnya, mengandung urea sekitar 1.990 mg %, sedangkan hiu
martil (Sphyma zygaena) 2.330 mg %. Hal ini menunjukkan bahwa untuk
menghilangkan urea beberapa jenis hiu atau pari memerlukan perlakuan lebih
banyak daripada jenis lain.
2.
Cara mengurangi bau pesing pada daging ikan hiu dan ikan pari
Kandungan
urea pada daging ikan hiu atau ikan pari memang mustahil dihilangkan. Namun,
jika kandungan urea tersebut dikurangi sebanyak mungkin, rasa pesing dan
bahayanya lebih kecil.
Pengurangan
bau dan rasa pesing juga dapat dilakukan dengan penanganan yang baik dan benar,
pengurangan kandungan urea secara efektif, atau penggunaan suhu rendah yang
tepat dan cocok. Pembuangan darah dan pencucian daging dalam air tawar atau
larutan garam atau larutan asam dapat mereduksi kandungan urea dalam jumlah
besar. Kalau kandungan urea dalam daging sudah di bawah 1.200 mg %, bau pesing
sudah tidak terasa lagi. Jika digarami, digoreng, atau ditambah bumbu yang
mampu mengalahkan bau pesing, ikan dengan kandungan urea 1.400 mg % pun sudah
tidak terasa bau pesingnya.
3.
Pembuangan darah dan penanganan di atas kapal
Salah satu
cara untuk mengurangi bau pesing pada daging ikan adalah dengan
penanganan yang baik dan benar yang diterapkan sejak ikan
ditangkap. Penghilangan darah juga banyak mengurangi kandungan
urea. Pembuangan darah hendaknya dilakukan selagi ikan masih hidup.
Jika darah tidak segera dibuang, selain kandungan ureanya tinggi juga
mempengaruhi warna daging. Terlebih jika setelah ditangkap ikan
ditangani secara kasar sehingga memar atau terjadi pembekuan darah pada daging.
Cara
pembuangan darah akan menentukan banyaknya darah yang dapat dikeluarkan. Jika
pisau ditusukkan langsung ke jantung ikan hiu maka darah yang
keluar hanya 2 % saja. Kalau yang dipotong saluran darah di dekat
tulang pektoral maka darah yang keluar 2 - 2,5 %. Cara yang paling
baik adalah dengan memotong pangkal ekor (sirip kaudal). Ketika
bagian ini dipotong, jantung hiu masih berdenyut dan darah terpompa
ke luar hingga 5 – 6 %. Jika ikan hiu cukup besar, kepala dipotong lalu
isi perut diambil dan air dipompakan kuat-kuat melalui saluran darah utama agar
darahnya tercuci. Setelah darah dibuang, ikan segera dies (0°C)
atau dibekukan (-40°C) sehingga proses pembusukan terhambat. Jangan membiarkan
hiu mati terlalu lama dalam air atau tergeletaktanpa terurus. Setelah mati, hiu
harus segera dies sehingga kerusakan daging akibat aktivitas
bakteri terhambat dan amoniak yang dikandungnya rendah.
4.
Pencucian urea daging
Selain
pembuangan darah, urea dalam daging ikan juga dapat dikurangi
dengan pencucian, perendaman dalam air, atau dalam larutan garam
atau larutan asam. Dengan pemanasan pun urea dapat berkurang,
tetapi cara ini biasanya kurang efektif.
Sebelum
penghilangan bau pesing, daging diambil lalu dipotong menjadi filet yang
lebamya 5 - 10 cm, panjang 10 cm, dan tebal 5 cm, atau lebih kecil
lagi. Dengan potongan kecil ini urea akan lebih banyak kontak
dengan larutan pencuci sehingga lebih mudah dan lebih banyak urea
yang dapat dihilangkan.
Filet
direndam air tawar sambil dicuci dan digosok-gosok lalu dibiarkan
terendam di dalam air beberapa jam. Secara periodik, air diganti.
Demikian seterusnya sampai bau pesing daging tidak terasa. Jika
direndam dalam air selama 8 jam, kandungan ureanya turun 40 %.
Makin kecil ukuran filet, makinbanyak urea yang dapat dibuang. Filet 50 - 70 g
yang direndam selama 1 - 2 jam, kandungan ureanya tinggal 1.000 -
1.200 mg %. Jika dicacah halus, perendaman selama 20 - 25 menit
maka urea di dalam daging ikan tinggal 400 - 600 mg %. Jika setelah
direndam lalu dipres, urea di dalam daging tinggal 300 - 350 mg %.
Jika
menggunakan larutan garam, filet dicuci larutan garam dapur 5% dan
direndam beberapa saat. Pencucian dan perendaman ini dilakukan berulang kali
sampai bau pesing hilang. Jika digunakan larutan asam, filet direndam
dalam larutan asam laktat 1,5% atau asam sitrat 1,5% atau larutan
vinegar lalu dicuci bersih dengan air tawar atau larutan qaram.
Sumber :
https://cocoper6-cocoper6.blogspot.com/2011/01/ciri-ciri-ikan-yang-segar.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar