Perairan pesisir menurut
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil Pasal 1 ayat 1, merupakan suatu wilayah laut yang berbatasan
dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil diukur dari garis pantai,
perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan
dangkal, rawa payau, dan laguna. Salah satu potensi yang sangat penting
keberadaannya di wilayah pesisir adalah hutan mangrove. Dimana mangrove, dapat
tumbuh di daerah pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar
dan arus pasang surut air laut dan tumbuh optimal di wilayah pantai yang
memiliki muara sungai besar serta estuari dan delta yang aliran airnya banyak
mengandung lumpur.
Hutan mangrove sebagai
salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan yang sangat potensial bagi
kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup,
namun sudah semakin kritis ketersediaannya. Di beberapa daerah wilayah pesisir
di Indonesia sudah terlihat adanya degradasi dari hutan mangrove akibat
penebangan hutan mangrove yang melampaui batas kelestariannya. Hutan mangrove
telah dirubah menjadi berbagai kegiatan pembangunan seperti perluasan areal
pertanian, pengembangan budidaya pertambakan, pembangunan dermaga dan lain
sebagainya. Hal seperti ini terutama terdapat di Aceh, Sumatera, Riau, pantai
utara Jawa, Sulawesi Selatan, Bali, dan Kalimantan Timur. Kegiatan pembangunan
tidak perlu merusak ekosistem pantai dan hutan mangrovenya, asalkan mengikuti
penataan yang rasional, yaitu dengan memperhatikan segi-segi fungsi ekosistem
pesisir dan lautan dengan menata sempadan pantai dan jalur hijau dan
mengkonservasi jalur hijau hutan mangrove untuk perlindungan pantai,
pelestarian siklus hidup biota perairan pantai (ikan dan udang, kerang, penyu),
terumbu karang, rumput laut, serta mencegah intrusi air laut. Salah satunya
model pendekatan pengelolaan sumberdaya alam termasuk didalamnya adalah
sumberdaya hutan mangrove adalah pendekatan pengelolaan yang berbasis
masyarakat.
Hutan
mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas
pantai tropik yang didominasi oleh beberapa species pohon yang khas atau
semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.
Hutan
mangrove disebut juga “Coastal Woodland” (hutan pantai) atau “Tidal Forest”
(hutan surut)/hutan bakau, yang merupakan formasi tumbuhan litoral yang
karakteristiknya terdapat di daerah tropika.
Fungsi
ekosistem mangrove mencakup: Fungsi fisik; menjaga garis pantai agar tetap
stabil, melindungi pantai dari erosi laut (abrasi) dan intrusi air laut; dan
mengolah bahan limbah. Fungsi biologis ; tempat pembenihan ikan, udang, tempat
pemijahan beberapa biota air; tempat bersarangnya burung; habitat alami bagi
berbagai jenis biota. Fungsi ekonomi sebagai sumber bahan bakar (arang kayu
bakar), pertambakan, tempat pembuatan garam, dan bahan bangunan.
Ekosistem
mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang
lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem
pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis, disamping itu, ekosistem
mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove di
Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis
fauna laut dan berbagai jenis fauna darat. Ekosistem mangrove juga merupakan
perlindungan pantai secara alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya
tsunami. Karena karakter pohon mangrove yang khas, ekosistem mangrove berfungsi
sebagai peredam gelombang dan badai, pelindung abrasi, penahan lumpur, dan
perangkap sedimen.
.
Mangrove adalah formasi vegetasi yang tumbuh
di daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove
bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri – ciri tumbuhan yang hidup di
darat dan di laut. Mangrove tumbuh tersebar hampir di seluruh kawasan pesisir
Indonesia terutama di wilayah pesisir timur Sumatera, Kalimatan, Sulawesi, dan
Papua. Luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 8,6 juta hektar yang
terdiri dari 3,8 juta hektar di dalam kawasan hutan dan 4,8 juta hektar berada
di luar kawasan hutan.
Indonesia memiliki sebanyak
tidak kurang dari 89 jenis pohon mangrove, atau paling tidak menurut FAO
terdapat sebanyak 37 jenis. Dari berbagai jenis mangrove tersebut, yang hidup
di daerah pasang surut terdapat sekitar 12 famili. Dari sekian banyak jenis
mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang paling banyak ditemukan antara lain
adalah jenis api – api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.).
Sebagai salah satu negara yang mempunyai luas hutan mangrove terbesar di dunia,
negara Indonesia memiliki posisi penting untuk memenuhi mandate internasional
dalam mengonservasi sumber daya hayati yang mempunyai manfaat global. Namun
sayangnya, Departemen Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 2007 melaporkan
bahwa sekitar 69% hutan mangrove di Indonesia dalam kondisi rusak dan sisanya
31% dari hutan mangrove tersebut berada dalam kondisi tidak rusak. Kerusakan
hutan mangrove paling utama terjadi karena akibat dari kegiatan manusia seperti
konversi lahan mangrove menjadi tambak, kegiatan reklamasi dan pertambangan,
serta penebangan liar yang mengakibatkan degradasi hutan mangrove mencapai
sebesar 200 ribu hektar setiap tahunnya.
Oleh karena
itu pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam undang undang no 41 tahun 1999
untuk melindungi hutan mangrove yang wajib dilestarikan. Strategi yang
diterapkan untuk kelestarian dalam pengelolaan hutan mangrove, yaitu sosialisasi fungsi hutan mangrove yang
akan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi dari hutan
mangrove untuk perairan pantai, rehabilitasi dan konservasi, serta kerja sama
yang baik antara stakeholders yaitu pemerintah, LSM, dan masyarakat
serta lembaga lain yang terkait.
Cara lain
yang dapat digunakan dalam menjamin kelestarian hutan mangrove untuk
pengelolaan konservasi hutan mangrove salah satunya yaitu memberikan wisata edukatif bagi
masyarakat, memberikan peluang usaha bagi masyarakat sekitar, mendukung
pelestarian dan pengembangan seni dan budaya lokal, dan meningkatkan pendapatan negara dan
pendapatan asli daerah yang dapat dimulai dari melakukan upaya-upaya
pengembangan pariwisata alam khususnya pariwisata alam dengan obyek hutan
mangrove. Pengembangan sarana akomodasi pariwisata dapat dilakukan diluar
kawasan hutan sedangkan hutan mangrove dapat dijadikan obyek atau etalase bagi
pengunjung. Selain itu untuk kegiatan budidaya perikanan dapat menerapkan
sistem silvofishery yang mana memadukan hutan mangrove dan tambak untuk dapat
berintegrasi yang dapat mempertahankan keberadaan mangrove sesuai fungsinya
Hutan mangrove atau sering disebut hutan
bakau merupakan ekosistem yang biasa tumbuh di perairan payau dan sangat
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Umumnya, ekosistem mangrove mempunyai
sistem perakaran yang menonjol (akar napas/pneumatofor) dan cenderung tumbuh
pada jenis tanah berlumpur, sehingga tidak mengherankan jika hutan mangrove ini
banyak tumbuh di kawasan pesisir pantai.
Hutan
mangrove tersebar di 123 negara yang memiliki iklim tropis dan sub tropis.
Biasanya mangrove menyukai arus laut hangat sepanjang garis khatulistiwa, 20°
ke utara dan selatan. Terkadang ditemukan hingga lintang 32° ke Utara dan
Selatan. Indonesia termasuk wilayah yang memiliki hutan mangrove sangat luas,
yaitu sekitar 25 % dari jumlah hutan mangrove di dunia (www.qureta.com).
Besarnya jumlah tersebut tentu sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup
karena hutan mangrove memiliki banyak fungsi, baik secara ekologis maupun
ekonomi.
Fungsi
secara ekologis, ekosistem mangrove dapat menghasilkan sejumlah besar detritus.
Sebagian detritus ini dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh fauna makrobenthos pemakan detritus dan
sebagian yang lain diuraikan secara bakterial menjadi unsur hara yang berperan
dalam penyuburan perairan. Hutan mangrove memiliki fungsi sebagai pelindung
pantai dari abrasi ombak laut yang dapat mengikis garis pantai. Tidak hanya
itu, Hutan mangrove juga menjadi habitat yang nyaman bagi perkembangbiakan
berbagai jenis burung dan satwa lainnya. Adapun secara ekonomi, ekosistem
mangrove ini dapat memberikan kontribusi secara nyata bagi peningkatan
pendapatan, baik bagi masyarakat, daerah, maupun Negara.
Namun
sayangnya, kerusakan hutan mangrove saat ini menjadi masalah yang tidak kunjung
usai. Data Food and Agriculture Organization (FAO)
2007 menunjukkan bahwa dalam tiga dekade terakhir, Indonesia kehilangan sekitar
40 persen luas hutan mangrove. Beberapa penyebab dikeluhkan, seperti pemanasan
global, alih fungsi hutan menjadi tambak, permukiman, industri dan perkebunan.
Selain itu, pembuangan limbah industri yang semakin tidak terkendali turut
memperparah kerusakan karena mematikan ekosistem mangrove. Matinya ekosistem
mangrove tentu menurunkan peran dan fungsi hutan itu sendiri. Padahal, fungsi
utama hutan mangrove adalah sebagai green belt atau sabuk hijau bagi lingkungan pesisir
pantai.
Ekosistem
mangrove sebagai green belt memiliki
cara kerja – melindungi garis pantai dari abrasi. Ekosistem mangrove meredam
energi dari terjangan gelombang arus laut. Tanaman mangrove ini memantulkan,
meneruskan dan menyerap energi gelombang yang datang, sehingga gelombang yang
sampai ke sisi pantai hanya tersisa riak-riaknya saja. Tidak hanya itu, tanaman
yang telah tumbuh kokoh bekerja melindungi kawasan pesisir pantai dari terpaan
angin, bahkan badai maupun tsunami (http://infomanfaat.com).
Melihat
pentingnya mangrove sebagai green belt ini, tidak dipungkiri membawa pengaruh
besar bagi ekosistem laut maupun darat. Kita tidak dapat membayangkan jika
ekosistem mangrove tersebut mengalami degradasi atau bahkan mengalami
kegundulan. Gelombang, badai atau bahkan tsunami akan secara langsung menerjang
garis pantai tanpa pemecah. Oleh karena itu, jangan biarkan mangrove yang
selama ini menjadi green belt kawasan
pesisir pantai musnah begitu saja. Mari, bentangkan green belt lebih luas lagi agar potensi abrasi semakin
terminimalisasi. Salam lestari! (Idayatul/Lindungi Hutan)
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar