Selasa, 11 Juni 2019

APA ITU GREEN BELT ?



                                              Hasil gambar untuk green belt

Perairan pesisir menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 1 ayat 1, merupakan suatu wilayah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. Salah satu potensi yang sangat penting keberadaannya di wilayah pesisir adalah hutan mangrove. Dimana mangrove, dapat tumbuh di daerah pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang surut air laut dan tumbuh optimal di wilayah pantai yang memiliki muara sungai besar serta estuari dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur.
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan yang sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, namun sudah semakin kritis ketersediaannya. Di beberapa daerah wilayah pesisir di Indonesia sudah terlihat adanya degradasi dari hutan mangrove akibat penebangan hutan mangrove yang melampaui batas kelestariannya. Hutan mangrove telah dirubah menjadi berbagai kegiatan pembangunan seperti perluasan areal pertanian, pengembangan budidaya pertambakan, pembangunan dermaga dan lain sebagainya. Hal seperti ini terutama terdapat di Aceh, Sumatera, Riau, pantai utara Jawa, Sulawesi Selatan, Bali, dan Kalimantan Timur. Kegiatan pembangunan tidak perlu merusak ekosistem pantai dan hutan mangrovenya, asalkan mengikuti penataan yang rasional, yaitu dengan memperhatikan segi-segi fungsi ekosistem pesisir dan lautan dengan menata sempadan pantai dan jalur hijau dan mengkonservasi jalur hijau hutan mangrove untuk perlindungan pantai, pelestarian siklus hidup biota perairan pantai (ikan dan udang, kerang, penyu), terumbu karang, rumput laut, serta mencegah intrusi air laut. Salah satunya model pendekatan pengelolaan sumberdaya alam termasuk didalamnya adalah sumberdaya hutan mangrove adalah pendekatan pengelolaan yang berbasis masyarakat.
Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa species pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.
Hutan mangrove disebut juga “Coastal Woodland” (hutan pantai) atau “Tidal Forest” (hutan surut)/hutan bakau, yang merupakan formasi tumbuhan litoral yang karakteristiknya terdapat di daerah tropika.
Fungsi ekosistem mangrove mencakup: Fungsi fisik; menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut (abrasi) dan intrusi air laut; dan mengolah bahan limbah. Fungsi biologis ; tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air; tempat bersarangnya burung; habitat alami bagi berbagai jenis biota. Fungsi ekonomi sebagai sumber bahan bakar (arang kayu bakar), pertambakan, tempat pembuatan garam, dan bahan bangunan.
Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis, disamping itu, ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat. Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Karena karakter pohon mangrove yang khas, ekosistem mangrove berfungsi sebagai peredam gelombang dan badai, pelindung abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen.
.
Mangrove adalah formasi vegetasi yang tumbuh di daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri – ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Mangrove tumbuh tersebar hampir di seluruh kawasan pesisir Indonesia terutama di wilayah pesisir timur Sumatera, Kalimatan, Sulawesi, dan Papua. Luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 8,6 juta hektar yang terdiri dari 3,8 juta hektar di dalam kawasan hutan dan 4,8 juta hektar berada di luar kawasan hutan.
Indonesia memiliki sebanyak tidak kurang dari 89 jenis pohon mangrove, atau paling tidak menurut FAO terdapat sebanyak 37 jenis. Dari berbagai jenis mangrove tersebut, yang hidup di daerah pasang surut terdapat sekitar 12 famili. Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang paling banyak ditemukan antara lain adalah jenis api – api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.). Sebagai salah satu negara yang mempunyai luas hutan mangrove terbesar di dunia, negara Indonesia memiliki posisi penting untuk memenuhi mandate internasional dalam mengonservasi sumber daya hayati yang mempunyai manfaat global. Namun sayangnya, Departemen Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 2007 melaporkan bahwa sekitar 69% hutan mangrove di Indonesia dalam kondisi rusak dan sisanya 31% dari hutan mangrove tersebut berada dalam kondisi tidak rusak. Kerusakan hutan mangrove paling utama terjadi karena akibat dari kegiatan manusia seperti konversi lahan mangrove menjadi tambak, kegiatan reklamasi dan pertambangan, serta penebangan liar yang mengakibatkan degradasi hutan mangrove mencapai sebesar 200 ribu hektar setiap tahunnya.
Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam undang undang no 41 tahun 1999 untuk melindungi hutan mangrove yang wajib dilestarikan. Strategi yang diterapkan untuk kelestarian dalam pengelolaan hutan mangrove, yaitu sosialisasi fungsi hutan mangrove yang akan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi dari hutan mangrove untuk perairan pantai, rehabilitasi dan konservasi, serta kerja sama yang baik antara stakeholders yaitu pemerintah, LSM, dan masyarakat serta lembaga lain yang terkait.
Cara lain yang dapat digunakan dalam menjamin kelestarian hutan mangrove untuk pengelolaan konservasi hutan mangrove salah satunya yaitu memberikan wisata edukatif bagi masyarakat, memberikan peluang usaha bagi masyarakat sekitar, mendukung pelestarian dan pengembangan seni dan budaya lokal, dan meningkatkan pendapatan negara dan pendapatan asli daerah yang dapat dimulai dari melakukan upaya-upaya pengembangan pariwisata alam khususnya pariwisata alam dengan obyek hutan mangrove. Pengembangan sarana akomodasi pariwisata dapat dilakukan diluar kawasan hutan sedangkan hutan mangrove dapat dijadikan obyek atau etalase bagi pengunjung. Selain itu untuk kegiatan budidaya perikanan dapat menerapkan sistem silvofishery yang mana memadukan hutan mangrove dan tambak untuk dapat berintegrasi yang dapat mempertahankan keberadaan mangrove sesuai fungsinya

Hutan mangrove atau sering disebut hutan bakau merupakan ekosistem yang biasa tumbuh di perairan payau dan sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Umumnya, ekosistem mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol (akar napas/pneumatofor) dan cenderung tumbuh pada jenis tanah berlumpur, sehingga tidak mengherankan jika hutan mangrove ini banyak tumbuh di kawasan pesisir pantai.
Hutan mangrove tersebar di 123 negara yang memiliki iklim tropis dan sub tropis. Biasanya mangrove menyukai arus laut hangat sepanjang garis khatulistiwa, 20° ke utara dan selatan. Terkadang ditemukan hingga lintang 32° ke Utara dan Selatan. Indonesia termasuk wilayah yang memiliki hutan mangrove sangat luas, yaitu sekitar 25 % dari jumlah hutan mangrove di dunia (www.qureta.com). Besarnya jumlah tersebut tentu sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup karena hutan mangrove memiliki banyak fungsi, baik secara ekologis maupun ekonomi.
Fungsi secara ekologis, ekosistem mangrove dapat menghasilkan sejumlah besar detritus. Sebagian detritus ini dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh fauna makrobenthos pemakan detritus dan sebagian yang lain diuraikan secara bakterial menjadi unsur hara yang berperan dalam penyuburan perairan. Hutan mangrove memiliki fungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi ombak laut yang dapat mengikis garis pantai. Tidak hanya itu, Hutan mangrove juga menjadi habitat yang nyaman bagi perkembangbiakan berbagai jenis burung dan satwa lainnya. Adapun secara ekonomi, ekosistem mangrove ini dapat memberikan kontribusi secara nyata bagi peningkatan pendapatan, baik bagi masyarakat, daerah, maupun Negara.
Namun sayangnya, kerusakan hutan mangrove saat ini menjadi masalah yang tidak kunjung usai. Data Food and Agriculture Organization (FAO) 2007 menunjukkan bahwa dalam tiga dekade terakhir, Indonesia kehilangan sekitar 40 persen luas hutan mangrove. Beberapa penyebab dikeluhkan, seperti pemanasan global, alih fungsi hutan menjadi tambak, permukiman, industri dan perkebunan. Selain itu, pembuangan limbah industri yang semakin tidak terkendali turut memperparah kerusakan karena mematikan ekosistem mangrove. Matinya ekosistem mangrove tentu menurunkan peran dan fungsi hutan itu sendiri. Padahal, fungsi utama hutan mangrove adalah sebagai green belt atau sabuk hijau bagi lingkungan pesisir pantai.
Ekosistem mangrove sebagai green belt memiliki cara kerja – melindungi garis pantai dari abrasi. Ekosistem mangrove meredam energi dari terjangan gelombang arus laut. Tanaman mangrove ini memantulkan, meneruskan dan menyerap energi gelombang yang datang, sehingga gelombang yang sampai ke sisi pantai hanya tersisa riak-riaknya saja. Tidak hanya itu, tanaman yang telah tumbuh kokoh bekerja melindungi kawasan pesisir pantai dari terpaan angin, bahkan badai maupun tsunami (http://infomanfaat.com).
Melihat pentingnya mangrove sebagai green belt ini, tidak dipungkiri membawa pengaruh besar bagi ekosistem laut maupun darat. Kita tidak dapat membayangkan jika ekosistem mangrove tersebut mengalami degradasi atau bahkan mengalami kegundulan. Gelombang, badai atau bahkan tsunami akan secara langsung menerjang garis pantai tanpa pemecah. Oleh karena itu, jangan biarkan mangrove yang selama ini menjadi green belt kawasan pesisir pantai musnah begitu saja. Mari, bentangkan green belt lebih luas lagi agar potensi abrasi semakin terminimalisasi. Salam lestari! (Idayatul/Lindungi Hutan)

Sumber :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar