Latar belakang
pengawasan sumberdaya perikanan adalah penurunan stok sumberdaya perikanan
global, baik di perairan jurisdiksi negara-negara pantai maupun di laut lepas.
Sumberdaya perikanan merupakan sumber makanan dan mata pencarian bagi
masyarakat nelayan yang tinggal di pesisir pantai. Sumberdaya perikanan
merupakan sumber pendapatan untuk pertumbuhan ekonomi negara pantai. Kehancuran
sumberdaya perikanan akan memiskinkan nelayan dan negara pantai. Perikanan yang
tidak bertanggung jawab mengancam pemanfaatan sumberdaya perikanan yang
berkekelanjutan. Sumberdaya perikanan merupakan milik bersama (common
property), sehingga harus dikelola bersama semua negara. Illegal, unreported,
and unregulated (IUU) fishing melemahkan pengelolaan sumberdaya perikanan, karena
tangkapan ikannya tidak terpantau. Dengan latar belakang hal-hal ini, maka Food
Agriculture Organization (FAO) sebagai organisasi dunia yang menangani
persoalan makanan dunia meminta negara pantai, bendera, dan pelabuhan
mengimplementasikan pengawasan sumberdaya perikanan dengan sistem Monitoring,
Controlling, and Surveillance (MCS) untuk mengelola sumberdaya perikanan di
zona ekonomi eksklusif, mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan di laut
lepas, dan memberantas IUU fishing.
Pengawasan sumberdaya
perikanan merupakan amanat ketentuan beberapa instrumentasi hukum
internasional. Lebih jelasnya, instrumentasi hukum internasional yang merupakan
aspek legal pengawasan sumberdaya perikanan adalah United Convention on The Law
of Sea (UNCLOS), 1982; FAO Compliance Agreement, 1993; UN Fish Stocks
Agreement, 1995; FAO Code Conduct Responsible Fisheries (CCRF), 1995; FAO
International Plan of Action (IPOA) to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal,
Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing, 2001; dan FAO Agreement on Port
State Measures, 2005.
Pengawasan sumberdaya
perikanan adalah pengawasan prosperity (kesejahteraan), bukan pengawasan
security (keamanan). Pengawasan sumberdaya perikanan merupakan kegiatan
operasional untuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang berhasil agar
sumberdaya perikanan tidak rusak karena pemanfaatan sumberdaya perikanan yang
berlebihan (overfishing) atau IUU fishing. Pengawasan sumberdaya perikanan
merupakan pengawasan prosperity yang tidak sama seperti kepolisian atau militer
dengan hanya pendekatan penegakan hukum (surveillance). Tetapi komprehensif dan
terintegrasi dengan sistem Monitoring, Controlling, and Surveillance (MCS).
Monitoring adalah
kegiatan pengumpulan data tangkapan ikan untuk pemantauan tingkat pemanfaatan
sumberdaya perikanan dan pemantauan aktivitas kapal perikanan di laut.
Controlling adalah pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan atau
pengendalian aktivitas kapal perikanan dengan peraturan perundang-undangan agar
sesuai dengan ketentuan pengelolaan sumberdaya perikanan. Surveillance adalah
kegiatan pengawasan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan aktivitas kapal
perikanan di laut. Aksi penegakan hukum (law enforcement) dilakukan terhadap
kapal perikanan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan atau
ketentuan pengelolaan sumberdaya perikanan.
Tujuan pengawasan
sumberdaya perikanan adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak melebihi
jumlah tangkap yang diperbolehkan (JTB) dan ketaatan atau kepatuhan
(compliance) masyarakat nelayan, perusahaan perikanan, atau kapal perikanan
pada ketentuan peraturan perundang-undangan atau pengelolaan sumberdaya
perikanan. Sasaran pengawasan sumberdaya perikanan adalah sumberdaya perikanan
tidak rusak atau overfishing dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk
kesejahteraan masyarakat nelayan dan peningkatan ekonomi negara pantai.
Biaya pengawasan
sumberdaya perikanan selalu merupakan perhatian utama dari semua negara yang
mengimplementasikan pengawasan sumberdaya perikanan. Keefektifan dan keefisienan
biaya penting untuk pengawasan sumberdaya perikanan yang berhasil. Pendekatan
sipil untuk penegakan perikanan deterrent telah terbukti dalam banyak kasus
menjadi yang paling efektif biaya dan responsif untuk prioritas perikanan.
Penggunaan aset sipil juga meminimalkan sensitivitas politik dari insiden
perikanan internasional dengan cara menghindari penggunaan peralatan dan
personil militer.
Administrator perikanan
yang harus bergantung pada penggunaan sumberdaya militer untuk melaksanakan
pengawasan sumberdaya perikanan akan menemukan bahwa badan militer selalu
menurut prioritas rendah ke tugas pengawasan sumberdaya perikanan. Di samping
itu, keterlibatan militer biasanya tidak efektif biaya. Pesawat dan kapal
militer lebih mahal untuk dibangun dan dioperasikan dibanding peralatan sipil
yang sesuai. Penghematan dihasilkan dari penggunaan kapal sipil dengan anak
buah kapal yang lebih sedikit dan biaya pengoperasian yang lebih rendah.
Untuk banyak negara,
bagaimanapun militer dapat menjalankan suatu peran pendukung yang penting dalam
pengawasan sumberdaya perikanan yang kuat. Kunci untuk pemerintah yang demikian
adalah menentukan suatu mekanisme antar badan yang memampukan administrator
perikanan meminta dukungan militer ketika dibutuhkan.
Keefektifan pengawasan
sumberdaya perikanan dapat dikembangkan jika suatu kementerian tunggal
ditentukan untuk mengambil peran unggul dalam pengawasan sumberdaya perikanan.
Hal ini secara signifikan mengurangi garis komunikasi untuk perintah dan
kontrol komponen pemantauan (monitoring) dan pengawasan (surveillance) dari
aktivitas pengawasan sumberdaya perikanan, membuat pengawasan sumberdaya
perikanan lebih efisien dan responsif untuk kebutuhan pengelolaan sumberdaya
perikanan. Dengan mempertimbangkan hal ini, maka kementerian perikanan
merupakan instansi sipil yang unggul untuk pengawasan sumberdaya perikanan.
Seperti dicatat di atas,
bagaimanapun sejumlah badan yang berbeda dapat dibutuhkan dalam peran pendukung
pengawasan sumberdaya perikanan. Dalam situasi yang demikian, pengawasan
sumberdaya perikanan yang efektif membutuhkan suatu mekanisme kontrol antar
badan yang kuat.
Pengelolaan sumberdaya
perikanan diimplementasikan dengan rencana pengelolaan perikanan (RPP) dan
dukungan semua pemegang kepentingan (stakeholder) pada sumberdaya perikanan.
Pengelolaan sumberdaya perikanan mempunyai kelemahan, karena aktivitas kapal
perikanan di laut dan kemampuan nelayan dalam menghindari ketentuan pengelolaan
sumberdaya perikanan atau melakukan IUU fishing. Rencana pengelolaan perikanan
harus didukung dengan pengawasan sumberdaya perikanan agar pengelolaan
sumberdaya perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan berhasil.
Pengawasan sumberdaya
perikanan dilaksanakan pada 4 (empat) dimensi, yaitu sebelum melakukan
penangkapan ikan (before fishing), selama melakukan penangkapan ikan (while
fishing), ketika melakukan pendaratan tangkapan ikan (during landing), dan
setelah pendaratan tangkapan ikan (post landing).
Dari riset sumberdaya
perikanan dan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat nelayan, maka pemerintah
akan mengambil keputusan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan.
Keputusan pengelolaan sumberdaya perikanan dituangkan dalam bentuk ketentuan
pengelolaan sumberdaya perikanan. Kemudian ketentuan pengelolaan sumberdaya
perikanan ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan untuk meregulasi
atau mengendalikan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan aktivitas kapal
perikanan.
Pengawasan sebelum
melakukan penangkapan ikan (before fishing) dilaksanakan di pelabuhan perikanan
oleh pengawas perikanan. Pengawasan ini dilaksanakan dengan memeriksa kelayakan
kapal perikanan, baik secara administrasi dan teknis untuk melakukan
penangkapan ikan. Di sini dilaksanakan pengawasan ketaatan atau kepatuhan kapal
perikanan pada ketentuan pengelolaan sumberdaya perikanan atau peraturan
perundang-undangan, seperti pemeriksaan dokumen perijinan; form logbook untuk
memperoleh data tangkapan ikan; form deklarasi transhipment untuk memperoleh
data tangkapan ikan yang dipindahkan ke atau diterima dari kapal lain;
pemasangan dan pengaktifan transmitter untuk pemantauan aktivitas kapal
perikanan di laut; pemeriksaan jenis dan ukuran kapal perikanan; pemeriksaan
jumlah, jenis, dan ukuran alat tangkap pada kapal perikanan; area fishing
ground; dan lain-lain. Jika kapal perikanan tidak layak atau tidak patuh pada
ketentuan peraturan perundang-undangan atau pengelolaan sumberdaya perikanan,
maka kapal perikanan tidak diberi surat laik operasional dan tidak
diperbolehkan berangkat melakukan penangkapan ikan.
Pengawasan selama
melakukan penangkapan ikan (while fishing) dilaksanakan di laut dengan
menggunakan sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system/VMS)
dan kapal patroli. Ke mana kapal perikanan berangkat, di mana kapal perikanan
melakukan penangkapan ikan, apapun yang dilakukan kapal perikanan di laut, ke
pelabuhan perikanan mana kapal perikanan kembali, transit ke pelabuhan
perikanan lain, melakukan pendaratan tangkapan ikan akan dipantau melalui VMS.
Sehingga akan diketahui di mana kapal perikanan melakukan pendaratan atau
transhipmen tangkapan ikan. Pengawasan ini bertujuan kepatuhan aktivitas kapal
perikanan di laut pada ketentuan pengelolaan sumberdaya perikanan. Data atau
informasi VMS dapat digunakan sebagai alat bukti tindak pidana perikanan untuk
penyidikan dan proses peradilan.
Pengawasan sumberdaya
perikanan selalu dilaksanakan dengan mengoperasikan kapal patroli untuk
pengawasan dan penegakan hukum di laut. Jika kapal perikanan terindikasi
melakukan pelanggaran ketentuan pengelolaan sumberdaya perikanan atau peraturan
perundang-undangan, maka kapal patroli dapat diminta untuk melaksanakan
inspeksi laut (sea inspection) terhadap kapal perikanan tersebut. Petugas
boarding ke kapal perikanan untuk melaksanakan inspeksi laut. Inspeksi laut
dilaksanakan untuk memperoleh barang bukti atau alat bukti tindak pidana
perikanan. Jika ditemukan bukti awal tindak pidana perikanan, maka kapal
perikanan ditahan dan diperintah adhock ke pelabuhan terdekat di mana
penyidikan dapat dilakukan.
Pengawasan ketika
melakukan pendaratan tangkapan ikan (during landing) dilakukan di pelabuhan
perikanan. Pengawasan ini dilaksanakan dengan skema dokumentasi tangkapan
(scheme documentation catch) atau logbook untuk memperoleh data tangkapan ikan
kapal perikanan dan inspeksi pelabuhan (port inspection) untuk memeriksa
tangkapan ikan yang didaratkan pada pelabuhan perikanan bukan merupakan hasil
IUU fishing. Skema dokumentasi tangkapan/logbook dan inspeksi pelabuhan harus
didukung dengan data atau informasi aktivitas kapal perikanan di laut dari VMS.
Tangkapan atau produk perikanan yang bukan hasil IUU fishing yang dapat
diperdagangkan ke pasar global. Tangkapan atau produk perikanan hasil IUU
fishing akan dicegah masuk ke pasar.
Pengawasan setelah
pendaratan tangkapan ikan (post landing) dilakukan ketika pendistrtibusian
tangkapan ikan ke lokasi lain atau ekspor ke negara lain dalam perdagangan
produk perikanan. Pengawasan ini dilaksanakan untuk mengawasi tangkapan ikan
yang sah tidak dicampur dengan tangkapan ikan hasil IUU fishing di darat atau
laut untuk melegalkan tangkapan ikan hasil IUU fishing (laundering). Uni Eropa
telah mengimplementasikan sertifikasi tangkapan untuk menunjukkan produk
perikanan yang diperdagangkan dengan anggota-angotanya bukan hasil IUU fishing.
Dengan pengawasan
sumberdaya perikanan, maka kapal perikanan patuh kepada ketentuan peraturan
perundang-undangan atau pengelolaan sumberdaya perikanan. Sehingga sumberdaya
perikanan dapat dikelola dengan baik, tidak rusak atau overfishing, dan dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan sebagai sumber makanan dan mata pencarian
masyarakat nelayan, serta pengembangan ekonomi negara pantai.
Sumber : Majalah Barracuda Edisi II Tahun 2010 Hal 50 - 55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar