Ikan nila merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan
yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Beberapa kelebihan yang
dimiliki ikan ini adalah mudah dipelihara, bernilai ekonomis tinggi, responsif
terhadap pakan tambahan, kelangsungan hidupnya tinggi, dapat mentolerir
salinitas pada kisaran yang luas, mampu berkembangbiak dengan cepat, serta
memiliki struktur daging putih bersih, tebal dan kenyal.
Untuk pasar ekspor, Amerika merupakan yang paling potensial,
dan membutuhkan pasokan nila fillet per tahunnya sekitar 90 ton/thn. Masih
banyak yang membutuhkan pasokan ikan nila dalam jumlah yang besar, diantaranya
adalah Hongkong, Singapura, Jepang dan Eropa. Menurut FAO (Food Agricultural
Organization), pasar dunia sampai 2010 masih kekurangan pasokan ikan nila
sebanyak 2 juta ton/tahun. Permintaan pasar akan ikan nila yang cenderung
meningkat dari tahun ke tahun menuntut para pelaku budidaya untuk meningkatkan
produksinya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Salah satu upaya untuk
mendapatkan produksi yang tinggi adalah melalui pengelolaan induk
yang baik dengan mengoptimalkan faktor lingkungan yang dapat
mendukung kondisi fisiologi dari ikan yang dibudidayakan. Ikan nila pada
umumnya dibudidayakan di perairan tawar, namun belakangan ini areal untuk
budidaya ikan air tawar semakin sempit seiring meningkatnya kompetisi
penggunaan lahan oleh berbagai jenis ikan air tawar. Sementara disis lain,
ketersediaan lahan tambak masih tersedia luas. Hal ini mendorong dilakukannya
upaya pengembangan budidaya nila di perairan payau (tambak) dan laut atau yang
lebih dikenal dengan nila salin. Budidaya ikan nila salin telah dikembangkan di
berbagai wilayah Indonesia, diantaranya adalah adalah Aceh, Jawa Tengah, Jawah
Barat, Sumatera Utara dan Lampung. Beberapa penelitian tentang salinitas dan
kaitannya dengan kajian fisiologi terhadap ikan nila juga telah dilakukan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ikan nila lebih tinggi bila
dipelihara pada salinitas > 5 ppt. Pada salinitas 10 ppt ketahanan tubuh
ikan nila menjadi lebih baik serta merupakan kondisi lingkungan terbaik yang
mempengaruhi reproduksi pada induk ikan nila seperti fekunditas, nilai GSI
(gonad somatik indeks), perkembangan embrio dan waktu inkubasi telur. Penampilan
dan reproduksi ikan nila lebih baik pada salinitas 5-15 ppt dari pada di air
tawar dan air laut 30 ppt.
Ikan nila merupakan jenis ikan air tawar yang sudah
dibudidayakan secara luas di Indonesia. Teknologi budidayanya sudah dikuasai
dengan tingkat produksi yang cukup tinggi. Ikan nila dapat dipelihara di KJA,
kolam, kolam air deras, perairan umum baik sungai, danau maupun waduk.Jenis
ikan nila yang dikembangkan di masyarakat adalah nila hitam dan nila merah.
Dalam rangka perbaikan genetik, jenis ikan nila yang telah berhasil
dikembangkan adalah nila GESIT, nila JICA, nila LARASATI, nila BEST, nila
NIRWANA, nila JATIMBULAN. Beberapa tahun terakhir karena permasalahan di
lapangan terutama pantai Utara Pulau Jawa, banyak sawah-sawah pertanian terkena
dampak pasang (Rob), sehingga lahan tersebut tidak bisa diperuntukkan sebagai
produksi tanaman padi. Oleh karena itu di BBPBAP Jepara telah megembangkan
inovasi teknologi budidaya nila SALIN (media air dengan salinitas 15 – 25
promil). Peluang pasar ikan nila cukup besar, baik dipasar lokal maupun pasar
ekspor. Oleh karena itu upaya pengembangan usaha budidaya ikan nila masih
terbuka untuk dikembangkan dalam berbagai skala usaha.
Sebutan ”nila” pada ikan nila
(Oreochromis niloticus) merujuk nama Sungai Nil di Afrika sebagai tempat
asalnya, sekaligus menegaskan bahwa ikan itu berjenis ikan air tawar. Namun,
para peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berhasil merekayasanya
menjadi ikan tahan air asin.
”Hasil rekayasa diberi nama ikan
nila salin karena tahan salinitas tinggi,” kata Kepala Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) Marzan Azis Iskandar, Selasa (29/11), saat
peluncuran ikan itu di Jakarta.
Bersamaan ikan nila salin
diluncurkan juga vaksin DNA Streptococcus, pakan protein rekombinan hormon
pertumbuhan, serta pencanangan pengembangan ikan nila salin di Karawang, Jawa
Barat, dan Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Marzan menyebut ini sebagai
paket inovasi yang memberi manfaat nyata bagi masyarakat.
Vaksin DNA Streptococcus untuk
meningkatkan kekebalan ikan nila salin terhadap risiko serangan bakteri
Streptococcus yang mematikan. Pakan protein rekombinan hormon pertumbuhan
merupakan rekayasa pakan dengan kandungan protein yang sesuai untuk mempercepat
pertumbuhan ikan nila salin.
Ikan Konsumsi
Nila masuk ke Indonesia dari Taiwan
untuk dipelihara dan dikembangbiakkan di Balai Penelitian Perikanan Air Tawar
di Bogor, Jawa Barat, tahun 1969. Jenis ikan produksi ini termasuk banyak
dikonsumsi di dunia dengan produsen terbesar China, Mesir, dan Indonesia.
Husni Amarullah, salah satu
perekayasa BPPT yang turut meneliti ikan nila salin, mengatakan, metodenya
melalui proses seleksi persilangan (dialling crossing) dari delapan varietas
ikan nila. ”Seleksi pertama dengan uji tantang,” kata Husni.
Uji tantang adalah mengganti air
tawar dengan air asin. Dari air tawar dengan salinitas hampir nol ditingkatkan
salinitasnya sampai 10 bagian per seribu (parts per thousand/ppt), 20 ppt, dan
30 ppt.
Ikan yang berhasil melampaui uji
tantang akan diseleksi. Kemudian, ikan-ikan itu disilangkan. Proses penyilangan
menghasilkan ikan nila salin yang tahan tingkat salinitas 20 ppt atau air
payau. ”Air laut memiliki tingkat salinitas 30-35 ppt,” ujar Husni.
Husni mengatakan, pengembangan ikan
nila salin ke depan diperlukan yang mampu hidup di air laut. Dengan demikian,
ikan bisa dibudidayakan di laut dengan jaring apung.
Pakan protein rekombinan hormon
pertumbuhan direkayasa dengan teknik pengambilan hormon pertumbuhan pada
kelenjar pituitari ikan nila. Selanjutnya, digunakan teknik rekombinasi protein
dengan bakteri Escherichia coli yang mudah dikembangbiakkan.
Dari proses itu dihasilkan protein
rekombinan hormon pertumbuhan yang dicampurkan pada granula (butiran) pakan
ikan. Husni mengatakan, dengan kadar protein yang sesuai dan kandungan hormon
pertumbuhan itu, diharapkan dalam jangka enam bulan bisa diproduksi nila salin
berbobot 600 gram.
”Bobot 600 gram per ekor ikan salin
untuk konsumsi ekspor. Untuk konsumsi domestik sekitar 250 gram per ekor,” kata
Husni.
Budidaya Tambak
Marzan mengatakan, ikan nila salin
semula dirancang untuk menggantikan komoditas ikan bandeng dan udang windu. Dua
komoditas ini makin tidak tahan dengan kualitas lingkungan tambak yang
memburuk. Akibatnya, banyak tambak telantar karena budidaya bandeng dan udang
tidak lagi memungkinkan.
Menurut Husni, Indonesia memiliki
potensi tambak seluas 1,2 juta hektar. Saat ini luas tambak 680.000 hektar, 50
persennya (340.000 hektar) telantar.
Ketua Perhimpunan Pembudidaya Tambak
Pantura, Jawa Barat, Endi Muchtarudin hadir dalam peluncuran ikan nila salin.
Endi bersama petani tambak lain di Karawang akan menguji coba nila salin,
terutama di tambak-tambak telantar.
Bupati Bantaeng, Provinsi Sulawesi
Selatan, Nurdin Abdullah juga menyatakan siap memproduksi ikan nila salin. Di
Kabupaten Bantaeng akan dibangun pusat pembenihan ikan nila salin.
”Dari sisi pasar, Bantaeng siap
menerima produk ikan nila salin. Saat ini warga Bantaeng mengolah ikan laut
untuk diekspor ke Jepang dan masih kekurangan pasokan bahan baku,” tutur
Nurdin.
Ikan nila salin dengan penunjangnya,
yakni vaksin DNA Streptococcus dan pakan protein rekombinan hormon pertumbuhan,
dipersiapkan menjadi komoditas baru tambak-tambak yang kini telantar. Inovasi
ikan nila salin menjadi harapan bagi penciptaan lapangan kerja baru.
Sumber :
2. perbenihan-budidaya.kkp.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar