Sabtu, 13 April 2019

BUDIDAYA IKAN NILA SALIN

Hasil gambar untuk nila salin


Ikan nila merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Beberapa kelebihan yang dimiliki ikan ini adalah mudah dipelihara, bernilai ekonomis tinggi, responsif terhadap pakan tambahan, kelangsungan hidupnya tinggi, dapat mentolerir salinitas pada kisaran yang luas, mampu berkembangbiak dengan cepat, serta memiliki struktur daging putih bersih, tebal dan kenyal.
Untuk pasar ekspor, Amerika merupakan yang paling potensial, dan membutuhkan pasokan nila fillet per tahunnya sekitar 90 ton/thn. Masih banyak yang membutuhkan pasokan ikan nila dalam jumlah yang besar, diantaranya adalah Hongkong, Singapura, Jepang dan Eropa. Menurut FAO (Food Agricultural Organization), pasar dunia sampai 2010 masih kekurangan pasokan ikan nila sebanyak 2 juta ton/tahun. Permintaan pasar akan ikan nila yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun menuntut para pelaku budidaya untuk meningkatkan produksinya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Salah satu upaya untuk mendapatkan produksi yang tinggi adalah melalui pengelolaan induk
yang baik dengan mengoptimalkan faktor lingkungan yang dapat mendukung kondisi fisiologi dari ikan yang dibudidayakan. Ikan nila pada umumnya dibudidayakan di perairan tawar, namun belakangan ini areal untuk budidaya ikan air tawar semakin sempit seiring meningkatnya kompetisi penggunaan lahan oleh berbagai jenis ikan air tawar. Sementara disis lain, ketersediaan lahan tambak masih tersedia luas. Hal ini mendorong dilakukannya upaya pengembangan budidaya nila di perairan payau (tambak) dan laut atau yang lebih dikenal dengan nila salin. Budidaya ikan nila salin telah dikembangkan di berbagai wilayah Indonesia, diantaranya adalah adalah Aceh, Jawa Tengah, Jawah Barat, Sumatera Utara dan Lampung. Beberapa penelitian tentang salinitas dan kaitannya dengan kajian fisiologi terhadap ikan nila juga telah dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ikan nila lebih tinggi bila dipelihara pada salinitas > 5 ppt. Pada salinitas 10 ppt ketahanan tubuh ikan nila menjadi lebih baik serta merupakan kondisi lingkungan terbaik yang mempengaruhi reproduksi pada induk ikan nila seperti fekunditas, nilai GSI (gonad somatik indeks), perkembangan embrio dan waktu inkubasi telur. Penampilan dan reproduksi ikan nila lebih baik pada salinitas 5-15 ppt dari pada di air tawar dan air laut 30 ppt.
Ikan nila merupakan jenis ikan air tawar yang sudah dibudidayakan secara luas di Indonesia. Teknologi budidayanya sudah dikuasai dengan tingkat produksi yang cukup tinggi. Ikan nila dapat dipelihara di KJA, kolam, kolam air deras, perairan umum baik sungai, danau maupun waduk.Jenis ikan nila yang dikembangkan di masyarakat adalah nila hitam dan nila merah. Dalam rangka perbaikan genetik, jenis ikan nila yang telah berhasil dikembangkan adalah nila GESIT, nila JICA, nila LARASATI, nila BEST, nila NIRWANA, nila JATIMBULAN. Beberapa tahun terakhir karena permasalahan di lapangan terutama pantai Utara Pulau Jawa, banyak sawah-sawah pertanian terkena dampak pasang (Rob), sehingga lahan tersebut tidak bisa diperuntukkan sebagai produksi tanaman padi. Oleh karena itu di BBPBAP Jepara telah megembangkan inovasi teknologi budidaya nila SALIN (media air dengan salinitas 15 – 25 promil). Peluang pasar ikan nila cukup besar, baik dipasar lokal maupun pasar ekspor. Oleh karena itu upaya pengembangan usaha budidaya ikan nila masih terbuka untuk dikembangkan dalam berbagai skala usaha.
Sebutan ”nila” pada ikan nila (Oreochromis niloticus) merujuk nama Sungai Nil di Afrika sebagai tempat asalnya, sekaligus menegaskan bahwa ikan itu berjenis ikan air tawar. Namun, para peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berhasil merekayasanya menjadi ikan tahan air asin.
”Hasil rekayasa diberi nama ikan nila salin karena tahan salinitas tinggi,” kata Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Marzan Azis Iskandar, Selasa (29/11), saat peluncuran ikan itu di Jakarta.
Bersamaan ikan nila salin diluncurkan juga vaksin DNA Streptococcus, pakan protein rekombinan hormon pertumbuhan, serta pencanangan pengembangan ikan nila salin di Karawang, Jawa Barat, dan Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Marzan menyebut ini sebagai paket inovasi yang memberi manfaat nyata bagi masyarakat.
Vaksin DNA Streptococcus untuk meningkatkan kekebalan ikan nila salin terhadap risiko serangan bakteri Streptococcus yang mematikan. Pakan protein rekombinan hormon pertumbuhan merupakan rekayasa pakan dengan kandungan protein yang sesuai untuk mempercepat pertumbuhan ikan nila salin.
Ikan Konsumsi
Nila masuk ke Indonesia dari Taiwan untuk dipelihara dan dikembangbiakkan di Balai Penelitian Perikanan Air Tawar di Bogor, Jawa Barat, tahun 1969. Jenis ikan produksi ini termasuk banyak dikonsumsi di dunia dengan produsen terbesar China, Mesir, dan Indonesia.
Husni Amarullah, salah satu perekayasa BPPT yang turut meneliti ikan nila salin, mengatakan, metodenya melalui proses seleksi persilangan (dialling crossing) dari delapan varietas ikan nila. ”Seleksi pertama dengan uji tantang,” kata Husni.
Uji tantang adalah mengganti air tawar dengan air asin. Dari air tawar dengan salinitas hampir nol ditingkatkan salinitasnya sampai 10 bagian per seribu (parts per thousand/ppt), 20 ppt, dan 30 ppt.
Ikan yang berhasil melampaui uji tantang akan diseleksi. Kemudian, ikan-ikan itu disilangkan. Proses penyilangan menghasilkan ikan nila salin yang tahan tingkat salinitas 20 ppt atau air payau. ”Air laut memiliki tingkat salinitas 30-35 ppt,” ujar Husni.
Husni mengatakan, pengembangan ikan nila salin ke depan diperlukan yang mampu hidup di air laut. Dengan demikian, ikan bisa dibudidayakan di laut dengan jaring apung.
Pakan protein rekombinan hormon pertumbuhan direkayasa dengan teknik pengambilan hormon pertumbuhan pada kelenjar pituitari ikan nila. Selanjutnya, digunakan teknik rekombinasi protein dengan bakteri Escherichia coli yang mudah dikembangbiakkan.
Dari proses itu dihasilkan protein rekombinan hormon pertumbuhan yang dicampurkan pada granula (butiran) pakan ikan. Husni mengatakan, dengan kadar protein yang sesuai dan kandungan hormon pertumbuhan itu, diharapkan dalam jangka enam bulan bisa diproduksi nila salin berbobot 600 gram.
”Bobot 600 gram per ekor ikan salin untuk konsumsi ekspor. Untuk konsumsi domestik sekitar 250 gram per ekor,” kata Husni.
Budidaya Tambak
Marzan mengatakan, ikan nila salin semula dirancang untuk menggantikan komoditas ikan bandeng dan udang windu. Dua komoditas ini makin tidak tahan dengan kualitas lingkungan tambak yang memburuk. Akibatnya, banyak tambak telantar karena budidaya bandeng dan udang tidak lagi memungkinkan.
Menurut Husni, Indonesia memiliki potensi tambak seluas 1,2 juta hektar. Saat ini luas tambak 680.000 hektar, 50 persennya (340.000 hektar) telantar.
Ketua Perhimpunan Pembudidaya Tambak Pantura, Jawa Barat, Endi Muchtarudin hadir dalam peluncuran ikan nila salin. Endi bersama petani tambak lain di Karawang akan menguji coba nila salin, terutama di tambak-tambak telantar.
Bupati Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah juga menyatakan siap memproduksi ikan nila salin. Di Kabupaten Bantaeng akan dibangun pusat pembenihan ikan nila salin.
”Dari sisi pasar, Bantaeng siap menerima produk ikan nila salin. Saat ini warga Bantaeng mengolah ikan laut untuk diekspor ke Jepang dan masih kekurangan pasokan bahan baku,” tutur Nurdin.
Ikan nila salin dengan penunjangnya, yakni vaksin DNA Streptococcus dan pakan protein rekombinan hormon pertumbuhan, dipersiapkan menjadi komoditas baru tambak-tambak yang kini telantar. Inovasi ikan nila salin menjadi harapan bagi penciptaan lapangan kerja baru.
Sumber :
2.    perbenihan-budidaya.kkp.go.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar